*BOLEH *percaya, boleh tidak: Candi Borobudur ternyata dibangun di atas
sebuah danau purba. Dulu, kawasan tersebut merupakan muara dari berbagai
aliran sungai. Karena tertimbun endapan lahar kemudian menjadi dataran. Pada
akhir abad ke VIII, Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra lantas
membangun Candi Borobudur, dipimpin arsitek bernama Gunadharma, selesai
tahun 746 Saka atau 824 Masehi.
Hasil kajian geologi yang dilakukan Ir Helmy Murwanto MSc, Ir Sutarto MT dan Dr
Sutanto dari Geologi UPN ‘Veteran’ serta Prof Sutikno dari Geografi UGM
membuktikan, keberadaan danau di kawasan Candi Borobudur memang benar
adanya. Penelitian itu dilakukan sejak 1996 dan masih berlanjut sampai
sekarang. Bahkan, tahun 2005, penelitian tentang keberadaan danau purba itu
oleh Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Tengah, CV Cipta Karya dan
Studio Audio Visual Puskat, dibuat film dokumenter ilmiah dengan judul
‘Borobudur Teratai di Tengah Danau’.
Hipotesa kawasan Candi Borobudur merupakan danau, pertama dikemukakan
seniman-arsitek Belanda, Nieuwenkamp, tahun 1930. Dalam bukunya berjudul
‘Fiet Borobudur Meer’ (Danau Borobudur), dikemukakan, Candi Borobudur
diimajinasikan sebagai Ceplok Bunga Teratai di tengah kolam. Kolam tersebut
berupa danau. Karena morfologi di sekitarnya dikelilingi pegunungan Menoreh
dan gunung api.
“Tapi hipotesa itu dianggap ilusi belaka oleh Van Erp, yang memimpin
pemugaran Candi Borobudur pada tahun 1907-1911. Bahkan dianggap sebagai
pendapat yang ngayawara, karena tidak didukung bukti-bukti kuat seperti
prasasti tentang adanya danau di kawasan itu,” kata Helmy kepada KR di
Laboratorium Mineralogi dan Petrologi UPN ‘Veteran’ Yogya.
Hipotesa itu pada akhirnya menarik perhatian para ahli dari berbagai
disiplin ilmu. Tak terkecuali Helmy dan kawan-kawan. Sebagai orang geologi
yang berasal dari Muntilan, Helmy merasa tertantang untuk melakukan
penelitian serupa sejak 1996. “Yang kita teliti adalah endapan lempung hitam
yang ada di dasar sungai sekitar Candi Borobudur yaitu Sungai Sileng, Sungai
Progo dan Sungai Elo,” katanya.
Setelah mengambil sampel lempung hitam dan melakukan analisa laboratorium,
ternyata lempung hitam banyak mengandung serbuk sari dari tanaman komunitas
rawa atau danau. Antara lain Commelina, Cyperaceae, Nymphaea stellata,
Hydrocharis. “Istilah populernya tanaman teratai, rumput air dan paku-pakuan
yang mengendap di danau saat itu,” katanya.
Penelitian itu terus berlanjut. Selain lempung hitam, fosil kayu juga
dianalisa dengan radio karbon C14. Dari analisa itu diketahui endapan
lempung hitam bagian atas berumur 660 tahun. Tahun 2001, Helmy melakukan
pengeboran lempung hitam pada kedalaman 40 meter. Setelah dianalisis dengan
radio karbon C14 diketahui lempung hitam itu berumur 22 ribu tahun. “Jadi
kesimpulannya, danau itu sudah ada sejak 22 ribu tahun lalu, jauh sebelum
Candi Borobudur dibangun, kemudian berakhir di akhir abad ke XIII,” katanya.
Kenapa berakhir, kata Helmy, karena lingkungan danau merupakan muara dari
beberapa sungai yang berasal dari gunung api aktif, seperti Sungai Pabelan
dari Gunung Merapi, Sungai Elo dari Gunung Merbabu, Sungai Progo dari Gunung
Sumbing dan Sindoro. Sungai itu membawa endapan lahar yang lambat laun
bermuara dan menimbun danau. Sehingga danau makin dangkal, makin sempit
kemudian diikuti dengan endapan lahar Gunung Merapi pada abad XI. Lambat
laun danau menjadi kering tertimbun endapan lahar dan berubah menjadi
dataran Borobudur seperti sekarang.
Menurut Helmy, pada saat dilakukan pengeboran, endapan danaunya banyak
mengeluarkan gas dan air asin. “Tapi lambat laun tekanannya berkurang, dan
sekarang kita pakai sebagai monumen saja,” katanya.
Ditargetkan, pada penelitian berikutnya akan diteliti luasan danau kaitannya
dengan sejarah perkembangan lingkungan Borobudur dari waktu ke waktu, mulai
air laut masuk sampai laut tertutup sehingga berkembang menjadi danau,
kemudian danau menjadi rawa dan menjadi dataran.